1. Penalaran
hukum sebagai suatu metode
Bagian dari ilmu hukum harus mampu
menjawab persoalan-persoalan keadilan di masyarakat khususnya bagi masyarakat
miskin dalam pengertian baik secara ekonomi, politik maupun sosial budaya yang
mengakibatkan lemahnya akses terhadap hukum. Penalaran hukum yang didalam
dirinya memang merupakan proses berfikir dengan menggunakan hukum-hukum
penalaran yang mampu menembus batas-batas doktrinal hukum, pada saat kondisi
terjadinya karut marut dalam praksis hukum maka harus dikembalikan kepada
penalaran hukum untuk dapat menemukan keputusan hukum yang benar. Disamping itu
penafsiran atas hukum dengan mengingat struktur masyarakat Indonesia yang sebagian besar
merupakan masyarakat miskin haruslah menjadi pertimbangan dalam penerapan
hukum.
Menurut Schroth, adanya kebutuhan
untuk melakukan penafsiran itu dapat dikembalikan kepada tiga alasan yaitu
(Budiono Kusumohamidjojo, 2004):
1. Pertama, penafsir tidak dapat lagi
‘mengikuti’ naskah kaidah undang-undang yang harus dipahaminya, karena dia
tidak tahu bagaimana harus mengikutinya,
2. Kedua, naskah kaidah undang-undang
yang harus dipahami memang tidak lengkap,
3. Ketiga, naskah kaidah undang-undang
sebagimana adanya itu memang tidak dapat dipahami.
Permasalahan ketumpang tindihan hukum dan ketidaktaatan azas
bisa terjadi karena tafsir atas hukum yang dilakukan oleh para legislator
terlebih para aparat penegak hukum yang mengoperasionalkan hukum tidak
dilandasi pemahaman yang mendasar atas hukum yang harus memenuhi
prinsip-prinsip yuridis, historis dan filosofis demi keadilan masyarakat.
2. Sejarah
hukum di Indonesia
Tidak dapat dilepaskan dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia
itu sendiri. Sebagaimana kita ketahui bersama selama tiga setengah abad
perjalanan bangsa Indonesia
berada dalam penjajahan Belanda. Seiring dengan itu pula bangsa Belanda
menerapkan hukumnya didaerah jajahannya tidak terkecuali di Indonesia . Apabila kita runtut lagi
ke belakang hukum Belanda berasal dari Perancis sejak jaman Romawi, yang tidak
lain sebagai negara yang menjajah Belanda. Salah satu diantaranya (Kansil,
1992) adalah Code Civil yaitu “Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Perancis” yang
dibukukan oleh Napoleon Bonaparte pada tahun 1804, banyak dimasukkan didalamnya
hukum Romawi.
Oleh karena itu tidak dapat dipungkiri prinsip-prinsip dan
azas-azas hukum yang berlaku di Indonesia
hampir sama dengan hukum Belanda, tentu disamping hukum adat dan hukum
kebiasaan sebagai living law yang tidak dapat terelakkan. Indonesia berhukum
Belanda ini setelah jaman kemerdekaan dikukuhkan kembali (Andi Hamzah, 1994)
dengan berlakunya Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 berlaku pada tanggal 18
Agustus 1945 mengatakan “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih
langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menrut Undang-Undang Dasar
ini”. Keadaan kesejarahan yang demikian telah menempatkan Indonesia ke dalam sistem hukum
Eropa Continental.
Perjalanan kesejarahan hukum di Indonesia yang kental dengan sistem
hukum Eropa Continental / civil law yang menghendaki adanya unifikasi dan
kodifikasi hukum membawa konsekuensi aliran positivisme hukum sangat kental di
Indonesia. Hal ini merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindarkan
sebagai sebuah kenyataan kesejarahan hukum. Oleh karena itu positivisme hukum
di Indonesia merupakan realitas hukum yang hidup, berkembang dan berlaku
sebagai sebuah kebudayaan dalam arti sebagai hasil karya, karsa dan cipta
bangsa Indonesia tentu dengan menyesuaikan kondisi sosial, politik dan budaya
setempat.
3. Aliran
Positivisme Hukum
Aliran positivisme hukum di Indonesia
yang berakar pada kesejarahan hukum di Indonesia membawa konsekuensi logis
pada berkembangnya model penalaran positivisme hukum terutama pada Pengembanan
Hukum Praktis tidak terkecuali Polisi, Jaksa dan Hakim. Berangkat dari
kenyataan kesejarahan hukum di Indonesia
tersebut diatas maka model penalaran positivisme hukum dengan segala
kekurangannya dan kelebihannya dapat dijadikan sebagai sebuah alternatif. Salah
satu kekurangannya adalah model penalaran positivisme hukum pada tataran
aksiologis mempunyai kecenderungan menghasilkan kesimpulan yang menitikberatkan
pada kepastian hukum. Untuk menghindari jebakan kepastian hukum maka untuk
meminimalisirnya perlu adanya design model penalaran positivisme hukum yang
sesuai dengan konteks keindonesiaan. Berkaitan dengan penyesuaian dalam konteks
keindonesiaan Shidarta menjelaskan (Shidarta, 2006) mengingat penalaran hukum
melibatkan subjek hukum (manusia) yang ketika menghadapi suatu kausus konkret
harus berpikir kontekstual dalam lingkaran kebudayaannya demi melahirkan
putusan yang bersifat praktis (dapat dieksekusi), maka tujuan penalaran hukum
yakni kepastian hukum tersebut tidak mungkin dapat berdiri sendiri tanpa
didampingi dengan tujuan-tujuan keadilan dan kemanfaatan.
Realitas masyarakat Indonesia yang sebagian besar
merupakan masyarakat bawah baik dari sosial, ekonomi dan politik yang mempunyai
posisi lemah dihadapan hukum maka harus ada keberpihakan hukum pada masyarakat
bawah. Keberpihakan ini harus dilakukan oleh para penstudi hukum pada semua
level baik pengamat, pengembanan hukum teoritis maupun terutama oleh
pengembanan hukum praktis. Oleh karena itu design model penalaran positivisme
hukum yang dibutuhkan adalah adanya sinergisitas antara hukum dan moralitas
dengan cara mengintervensi hukum dalam tataran aksiologis dengan memasukkan
keadilan yang memihak pada masyarakat bawah. Model yang demikian sebagaimana
yang dinyatakan oleh Shidarta aspek aksiologisnya (Shidarta, 2006) adalah
mengarah kepada pencapaian nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan secara
simultan, yang kemudian diikuti dengan kepastian hukum, dua nilai yang
disebutkan pertama menjadi tujuan dalam proses pencarian (context of
discovery), sementara nilai terakhir adalah tujuan dalam konteks penerapannya
(context of justification). Intervensi keadilan terhadap hukum dengan
keberpihakan ini menjadi penting dengan tetap menjaga titik keseimbangan bagi
kepentingan pelanggar hukum, korban pelanggaran hukum, masyarakat dan negara
agar hukum dapat menaikkan harkat dan martabat kemanusiaan.
4. Masalah
Penerapan Hukum
Masalah penerapan hukum tidak bisa
dilepaskan dari masalah keadilan yang merupakan muara dari hukum itu sendiri
dan berbicara keadilan tidak bisa dilepaskan dari masalah kemanusiaan yang
merupakan samudera dari muara keadilan artinya hukum haruslah didedikasikan
untuk harkat dan martabat kemanusiaan terutama untuk masyarakat miskin. Hukum
yang adil tidak akan berarti apa-apa apabila tidak bisa mengangkat harkat dan martabat
kemanusiaan. Untuk itu penegakan hukum yang adil menjadi penting untuk
dimaknai, berbicara penegakan hukum kita perlu melihat terlebih dahulu
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi berfungsinya kaedah hukum dalam
masyarakat yaitu (Soerjono Soekanto, 1980) : Kaedah Hukum / Peraturan itu
sendiri, Petugas / Penegak Hukum, Fasilitas dan Masyarakat.
Sehubungan dengan faktor penegakan
hukum Aparat Penegak Hukum mempunyai peran yang sangat penting. Aparat Penegak
Hukum disamping dituntut untuk menguasai teknis yuridis secara profesional
dalam mengoperasikan hukum (ius operatum), disini dituntut untuk menguasai
dogmatik hukum, Aparat Penegak Hukum juga dituntut untuk menguasai penalaran
hukum agar menghasilkan kearifan hukum yang berbuah pada keadilan untuk harkat
dan martabat kemanusiaan. Mengingat penerapan dogmatik hukum secara konseptual
mempunyai kemampuan yang terbatas dalam mewujudkan sebuah kebenaran, disamping
itu Aparat Penegak Hukum sebagai seorang manusia tentu mempunyai keterbatasan
dalam mencapai kebenaran sebab kebenaran yang hakiki tidak dapat dicapai oleh
seorang manusia, manusia hanya dapat mendekati kebenaran. Disinilah pangkal
tolak manfaat atau pentingnya penalaran hukum bagi seorang yang berprofesi
sebagai Aparat Penegak Hukum agar dapat menerapkan hukum yang bisa manghasilkan
kearifan hukum.
Bertitik tolak dari paradigma yang
demikian ada keterkaitan yang sangat erat antara profesi Aparat Penegak Hukum
dengan penalaran hukum. Penalaran hukum yang sesuai dengan konteks
keindonesiaan dalam tataran praksis akan sangat berguna bagi Aparat Penegak
Hukum sebagai seorang yuris ketika menghadapi sebuah kasus yang pada
kenyataannya sehari-hari harus mengambil keputusan dalam menerapkan hukum.
Dalam situasi yang demikian seorang Aparat Penegak Hukum harus berfikir secara
mendalam untuk mengambil sebuah keputusan yang baik dan benar, padahal
keputusan yang baik belum tentu benar dan sebaliknya keputusan yang benar belum
tentu baik. Disinilah seorang Aparat Penegak Hukum juga harus menguasai
kemampuan penalaran hukum untuk dapat mengambil keputusan yang adil khususnya
bagi masyarakat miskin.
KESIMPULAN
persoalan keadilan di masyarakat khususnya bagi masyarakat
miskin dalam pengertian baik secara ekonomi, politik maupun sosial budaya yang
mengakibatkan lemahnya akses terhadap hukum Kendala dibangun ke dalam
sistem Hukum Miskin, pencegah untuk menghentikan semua tapi paling membutuhkan
dalam masyarakat dari bantuan mengklaim, harus diakui pada saat ini sebagai
skema pemerintah tidak terhadap orang-orang miskin, per se, tetapi sebagai
suatu alat bermusuhan dengan kegiatan dan melakukan orang miskin, siapa Miskin
Hukum administrator sosial dianggap bengis. Hal ini berpikir bahwa dengan
menerapkan struktur kesejahteraan yang dicari pada intinya untuk mendorong
berkurangnya kebiasaan buruk seperti kerja menghindari (karena kemalasan atau
sakit penyakit) dan sehingga perlu mengklaim bantuan, masyarakat pada umumnya
akan dikenal untuk memperbaiki sendiri. Dengan cara ini, manajemen kemiskinan
melalui UU Miskin diubah gabungan penilaian sosial, moral, dan ekonomi.
Pemiskinan dan penyakit dipandang sebagai hasil akhir dari kebiasaan tak
bermoral sebanyak di hadapan racun. Dilaksanakan pada saat banyak laporan oleh
praktisi medis semakin menyoroti persatuan antara kemiskinan dan kelemahan
Masyarakat Miskin Hukum Komisaris menyimpulkan bahwa sebanyak Poor Relief
berkurang penderitaan, itu tidak cukup dalam dirinya sendiri untuk mengakhiri
kemiskinan. Untuk tujuan ini, itu penting dengan alasan ekonomi yang diberlakukan
langkah-langkah untuk mencegah sakit supaya buruh untuk mencapai pekerjaan
mereka dan potensi gaji di pasar bebas. Dengan kata lain, itu penting untuk
membasmi penyebab penyakit sehingga pekerja yang lebih baik dapat memberikan
kontribusi ke mesin industri nasional. Oleh karena itu, sebagai studi ke dalam
kehidupan sehari-hari kelas pekerja itu diperlukan, minat Etiologi terbangun,
dan langkah-langkah kesehatan masyarakat terhambat. Ini merupakan respon
terhadap munculnya penyakit tetapi juga manuver politik yang terampil untuk
mengalihkan perhatian penting bahwa UU Miskin dan kemiskinan adalah penyebab
utama penyakit. Perhatian juga ditempatkan di atas tindakan pencegahan, sesuatu
yang digambarkan pada tahun 1840 oleh Komite Select pada Kesehatan Kota sebagai
keharusan untuk alasan menghasut keadilan bagi kaum miskin dan, agak bermakna,
mempertahankan perlindungan hak milik dan keamanan orang kaya. Singkatnya,
Komisi Hukum Miskin adalah penyaluran fokus gerakan formatif kesehatan
masyarakat di Inggris, mendefinisikan dan menggambarkan keprihatinan
kepentingannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar